BERITA

Mengubah Tabiat Pembangunan Kesehatan


Mengubah Tabiat Pembangunan Kesehatan
27 Nov 2019 | Admin | Dibaca 54 kali

Jakarta -

Ungkapan yang menyatakan "mencegah lebih baik daripada mengobati" ternyata tidak sepenuhnya diterapkan dalam pembangunan kesehatan di Indonesia. Laporan National Health Account (NHA) 2017 mempublikasikan bahwa sebesar 73,3% dari total alokasi anggaran kesehatan dipergunakan untuk pembiayaan pelayanan kesehatan kuratif (pengobatan dan penyembuhan penyakit). Jumlah ini kontras bila dibandingkan dengan porsi pelayanan kesehatan preventif-promotif (pendidikan hidup sehat masyarakat) yang hanya mendapatkan 9,3% dari anggaran kesehatan.

Kecenderungan pembangunan kesehatan di Indonesia faktanya memang selama ini masih terfokus pada sektor kuratif dibandingkan urusan preventif dan promotif kesehatan. Dapat dikatakan bahwa watak dari pola pembangunan kesehatan kita masih memposisikan obat, dokter, dan rumah sakit sebagai primadona. Padahal tanpa disadari, polarisasi demikian yang akhirnya mengakibatkan pengembangan pembangunan kesehatan di Indonesia berjalan semakin lambat.

Mengenai postur anggaran yang tidak akomodatif terhadap pelayanan kesehatan preventif-promotif itulah yang menjadi faktor penyebab kondisi pembangunan kesehatan di Indonesia seolah berjalan di tempat. Pada 2018, Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) menemukan bahwa sepanjang lima tahun terakhir, angka stunting hanya menurun sebesar 7 persen dari 37,2% menjadi 30,8%. Demikian juga dengan angka gizi buruk yang tidak menurun secara signifikan yakni dari angka 19,6% menjadi 17,6%.

Itu artinya bahwa kegiatan intevensi gizi, pemenuhan kebutuhan gizi masyarakat --yang merupakan bagian dari upaya kesehatan preventif-promotif-- adalah kegiatan yang setengah hati dilakukan pemerintah. Terlihat dari tidak adanya perubahan yang berarti. Tidak ada lompatan besar yang terjadi dari perbaikan gizi penduduk Indonesia.

Tidak hanya ihwal gizi. Akibat dari abainya pembangunan kesehatan pada aspek preventif dan promotif, krisis kesehatan lainnya membayangi Indonesia. Diperoleh dari data profil kesehatan tahun 2018, Indonesia hari ini diperhadapkan dengan tingginya prevalensi penyakit tidak menular seperti kanker, stroke, gangguan ginjal kronis, diabetes melitus, penyakit darah (leukemia dan thallasemia) dan hipertensi, yang setiap tahunnya terjadi.

Dari peningkatan tersebut, kita tahu, bahwa kebutuhan anggaran kesehatan yang diperlukan untuk mengobati penyakit adalah biaya yang tidak sedikit. Perlu menghabiskan triliunan rupiah untuk dapat mengobati jumlah orang sakit di Indonesia. Butuh dana yang sangat besar untuk bisa menyembuhkan penyakit kronis yang diderita oleh masyarakat.

Tengoklah Badan Pengelolaan Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan misalnya, yang setiap tahun mengalami defisit keuangan karena tanggungan jumlah orang sakit yang begitu tinggi. Lihatlah bagaimana beban morbiditas yang harus ditanggung oleh BPJS Kesehatan setiap tahunnya. Ekses buruk dari sistem pengelolaan kesehatan ini terus dipikul oleh lembaga asuransi yang bernama BPJS Kesehatan. Di saat jumlah orang sakit semakin naik, maka di saat yang sama juga keuangan BPJS Kesehatan semakin tercekik.

 

Perlahan disadari, hal ini menjadi semacam lingkaran setan di dalam dunia kesehatan kita. Pembangunan kesehatan mau tidak mau selamanya akan terus berfokus pada orang sakit. Sedangkan di sisi yang lain, menjaga status kesehatan masyarakat agar selalu baik adalah sesuatu yang luput dari perhatian kita.

Revitalisasi Puskesmas

Rencana untuk memperkuat kembali fungsi Puskesmas (Pusat Kesehatan Masyarakat) sebagai playmaker bagi pembangunan kesehatan Indonesia menjadi angin segar yang baru saja diwacanakan oleh Menteri kesehatan Dokter Terawan. Meskipun bukanlah sesuatu yang baru dalam dunia pembangunan kesehatan kita, sebagai langkah awal, semangat ini perlu diapresiasi positif.

Semangat yang tentu saja berangkat dari permasalahan selama ini bahwa Puskesmas lebih cenderung difungsikan sebagai klinik pengobatan alih-alih menjadi pusat dari pembinaan kesehatan di dalam masyarakat dengan melakukan kegiatan preventif dan promotif. Yang dominan dari wajah Puskesmas adalah justru menjadi rumah berobat bagi warga.

Padahal jika membaca isi dari Peraturan Menteri Kesehatan No. 75 Tahun 2014, maka tujuan inti dari fasilitas kesehatan Puskesmas sebetulnya lebih berfokus untuk menjadikan Puskesmas sebagai pelayan preventif dan promotif dalam masyarakat. Tujuannya adalah untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya (goodness of health) di wilayah kerja Puskesmas tersebut.

Upaya pelayanan preventif dan promotif ini bisa di antaranya adalah upaya kesehatan ibu dan anak, upaya kesehatan lingkungan, upaya perbaikan gizi, upaya pencegahan dan pemberantasan penyakit menular, upaya kesehatan sekolah, upaya penyuluhan kesehatan masyarakat, upaya kesehatan jiwa, upaya pembinaan pengobatan tradisional, dan seterusnya. Semua kegiatan yang berbasis pada pemberian edukasi kesehatan ke masyarakat sebelum diserang oleh penyakit.

Lantas mengapa hingga sampai saat ini Puskesmas begitu sering dalam mengurusi kegiatan pengobatan? Kenyataan ini tidak bisa kita lepaskan dari adanya peraturan BPJS Kesehatan No 2 tahun 2015 yang mengatur tentang posisi Puskesmas sebagai Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama dalam penyelenggaraan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Posisi yang pada akhirnya menciptakan ambiguitas tersendiri bagi Puskesmas; di satu sisi menjadi lembaga kesehatan preventif dan promotif, namun di sisi yang lain berfungsi layaknya sebuah rumah sakit.

Dengan demikian, maka agenda untuk mempertegas kembali identitas Puskesmas sebagai lembaga preventif-promotif adalah sesuatu yang urgen untuk saat ini. Mempertegas kembali bahwa pelayanan perseorangan seperti melakukan pemeriksaan fisik, mengadakan pemeriksaan laboratorium, membuat diagnosis, hingga membuat rujukan diagnostik ke rumah bukanlah rutinitas yang mesti dilakukan oleh Puskesmas. Semua ini sudah mesti dikembalikan lagi kepada rumah sakit.

Komitmen Pemerintah
 

Sepanjang nyaris dua puluh tahun pemerintahan silih berganti. Tabiat pemerintah Indonesia dalam membangun bidang kesehatan masih tetap sama; upaya promotif dan preventif hanya menjadi urusan belakang. Sementara inilah yang menjadi tujuan revolusioner dari pembangunan kesehatan.

Pada sisi kebijakan maupun program, pemerintah terlihat tidak begitu responsif. Alasan perihal tenaga kesehatan yang kurang dan anggaran yang serba terbatas kerap menjadi alasan untuk memaklumi keadaan yang seperti ini. Padahal alasan ini sebetulnya menjadi dalih bahwa mental kitalah yang belum siap untuk menghadapi perkembangan dunia saat ini. Dari kelambatan lahirlah ketertinggalan.

Tidak mengherankan jika dalam sektor kesehatan, negara dengan Produk Domestik Bruto (PDB) yang telah mencapai Rp 1 triliun dolar AS ini tertinggal dan kalah telak dengan negara Kuba yang hanya dengan PBD 87 juta USD. Dan, tidak ada yang aneh ketika Malaysia dan Singapura menjadi negara yang sangat maju dalam hal kesehatannya di belahan Asia Tenggara. Indonesia begitu jauh terlambat dan tertinggal. Oleh karena itu, bila di masa mendatang ternyata tak juga banyak berubah, maka jangan kaget ketika pembangunan kesehatan Timur Leste pun bisa selangkah lebih maju daripada Indonesia.

Untuk semua itu marilah kita nantikan perubahan yang ada. Menanti perubahan kesehatan hari ini berarti sama dengan menantikan seberapa besar komitmen pemerintah untuk membuktikan bahwa preventif-promotif bukanlah sekadar jargon belaka. Kalau memang benar dan sungguh-sungguh dilakukan, maka secepatnya kita bisa segera keluar dari situasi ketertinggalan ini.

Muktamar Umakaapa peneliti di Merial Institute, menempuh Magister Ilmu Kebijakan dan Hukum Kesehatan di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia

Sumber: detik.com